Beranda | Artikel
Amalan-Amalan Di Bulan Ramadlan (3)
Rabu, 4 Juni 2014

7. Memberi makan untuk orang yang berbuka puasa.

Memberi makan orang yang berbuka puasa adalah ibadah yang agung, sebagaimana dalam hadits:

مَنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ

“Barang siapa yang memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, maka ia mendapat seperti pahalanya, akan tetapi pahala orang yang berpuasa tidak berkurang sedikitpun.” HR At Tirmidzi, ibnu Majah, Ahmad dan lainnya.

8. Sahur.

Sesungguhnya sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan, dan ia mempunyai beberapa keutamaan, yaitu:
Pertama: Sahur adalah makanan yang berkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السُّحُورِ بَرَكَة

“Bersahurlah karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat keberkahan.” HR Muslim.
Dalam hadits lain Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:

الْبَرَكَةُ فِي ثَلَاثَةٍ: فِي الْجَمَاعَةِ، وَالثَّرِيدِ ، وَالسَّحُور

“Keberkahan ada pada tiga; berjama’ah, tsarid, dan sahur.” HR Ath Thabrani[1].
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ.

“Sesungguhnya Allah dan malaikatNya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” HR Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath[2].

Ketiga: Sebagai pembeda antara puasa kaum muslimin dan puasa ahlul kitab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر

“Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” HR Muslim.

Adab-adab sahur.

Disana ada beberapa adab yang hendaknya kita perhatikan dalam bersahur, yaitu:

1. Bersahur dengan kurma.

نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْر

“Sebaik-baik makanan sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” HR Abu Dawud[3] dan lainnya.
1. Mengakhirkan waktu sahur.
Waktu sahur yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak jauh dari waktu fajar, sebagaimana dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit ia berkata:

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ : كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَبَيْنَ السُّحُورِ؟ قَالَ : قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.

“Kami pernah bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas berkata, “Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur ?” Ia menjawab, “Sekitar membaca 50 ayat.” HR Bukhari dan Muslim[4].

Dan itulah yan diamalkan oleh para shahabat setelahnya, Amru bin Maimun Al Audi berkata, “Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat bersahur.”[5] Al hafidz ibnu Hajar ketika menjelaskan bab: “Ta’jil sahur.” Dalam shahih Bukhari berkata, “Maksudnya mempercepat makan sebagai isyarat bahwa dahulu sahur itu mendekati terbitnya fajar. Lalu beliau membawakan riwayat Imam Malik dalam muwatha’nya dari jalan Abdullah bin Abu bakar dari ayahnya berkata, “Dahulu selesai sholat malam kami bersegera makan sahur karena takut fajar menyingsing.”[6]

Namun di zaman ini kita melihat penyimpangan dari sunnah dalam bersahur, kita melihat mereka bersahur sekitar jam satu atau jam dua malam. Tentunya fenomena ini sangat tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat serta para ulama setelahnya.

Hukum imsak.

Ditambah lagi mereka mengada-adakan sebuah perkara baru, yaitu yang disebut dengan imsak, dengan melarang makan dan minum sekitar 10 menit sebelum fajar dengan alasan kehati-hatian. Padahal bila kita perhatikan, pengadaan imsak ini bertentangan dengan hadits, kaidah ushul fiqih dan apa yang difatwakan oleh para ulama.
Adapun hadits, Abu Dawud (no 2352) meriwayatkan dalam sunannya dari jalan Hammad dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْه

“Apabila salah seorang dari kamu mendengar adzan sementara gelas masih ada di tangannya, janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya.”[7]

Dan dalam riwayat Ahmad (2/510) dengan tambahan: “Dan muadzin beradzan ketika fajar telah menyingsing.” Tambahan ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan sebelum fajar.
Hadits ini mengecualikan keumuman ayat dalam surat Al Baqarah: 187 yang artinya: “Makan dan minumlah sampai menjadi jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar.” Bahkan sebagian shahabat ada yang berpendapat lebih dari ini, mereka memperbolehkan sahur sampai fajar benar-benar telah menjadi jelas dan terang, silahkan dirujuk kitab Fathul Bari 4/136-137[8].

Adapun kaidah ushul, sebuah kaidah fiqih berkata:

الأصل بقاء ما كان على ما كان

“Pada asalnya sesuatu itu tetap pada asalnya terdahulu.”

Ketika seseorang ragu apakah telah masuk fajar atau belum, lalu ia makan dan ternyata fajar telah masuk, maka tidak batal puasanya, karena pada asalnya malam masih ada sampai ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa fajar telah menyingsing. Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata, “Allah menghalalkan makan dan minum sahur selama kamu masih ragu sampai kamu tidak merasa ragu.” HR Abdurrazzaq[9]. Ibnul Mundzir berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas ulama.”[10] Jadi, kehati-hatian yang diklaim itu sebenarnya adalah was-was yang tidak boleh kita ikuti.

Adapun fatwa ulama, Al Hafidz ibnu Hajar Al ‘Asqolani rahimahullah berkata, “Termasuk bid’ah yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sebelum fajar menyingsing sekitar sepertiga jam, dan mematikan lampu-lampu untuk dijadikan tanda haramnya makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Mereka lakukan itu dengan alasan kehati-hatian dalam ibadah..[11]

Yang terjadi di zaman Al Hafidz tersebut serupa dengan pengadaan imsak di zaman ini, karena sama-sama beralasan kehati-hatian dalam ibadah. Ya, kehati-hatian dalam beribadah adalah terpuji selama tidak terjerat dalam was-was dan menyelisihi sunnah.

8. Umrah.

Umrah di bulan Ramadlan mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan dengan umroh di bulan lainnya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِيْ.

“Sesungguhnya umroh di bulan Ramadlan sama dengan haji bersamaku.”
Ini tentunya adalah kesempatan yang besar untuk meraih pahala yang besar di sisi Allah, terutama bagi mereka yang diberikan keluasan harta oleh Allah Subhanahu wata’ala.

9. I’tikaf.

I’tikaf adalah ibadah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terutama di sepuluh terakhir bulan Ramadlan, Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada setiap bulan Ramadlan sepuluh hari. Ketika di tahun yang beliau meninggal padanya beliau beri’tikaf dua puluh hari lamanya.” HR Bukhari[12].
Waktu i’tikaf yang paling utama adalah sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ.

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadlan sampai beliau Allah mewafatkan beliau.” HR Bukhari dan Muslim[13].

Tempat i’tikaf adalah masjid bukan di rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Sementara kalian beri-tikaf di masjid-masjid.” QS Al Baqarah: 187.

Namun para ulama berpendapat apakah yang dimaksud masjid dalam ayat tersebut, sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hanya tiga masjid saja, berdasarkan hadits:

لَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَةِ.

“Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.”

Sedangkan (jumhur) mayoritas ulama berpendapat disyari’atkan i’tikaf di setiap masjid berdasarkan keumuman ayat di atas. Namun jumhur berselisihan masjid seperti apa yang diperbolehkan padanya i’tikaf, kebanyakan berpendapat masjid jami’ yaitu masjid yang ditegakkan padanya shalat jum’at.

Disunnah untuk masuk ke masjid setelah maghrib di tanggal dua puluh Ramadlan, dan masuk ke tempat i’tikaf setelah shalat fajar tanggal 21 Ramadlan, berdasarkan hadits Aisyah:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadlan, dahulu aku yang memasangkan kemah untuk beliau, beliau shalat shubuh lalu masuk ke dalamnya.” HR Bukhari[14].
Orang yang beri’tikaf hendaklah menjauhi dua perkara yang membatalkan i’tikafnya, yaitu keluar dari masjid dengan tanpa udzur syar’iy dan berjima’ dengan istri[15]. Dan hendaklah mereka yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan keta’atan seperti shalat, membaca Al Qur’an, istighfar, dan sebagainya serta tidak dilalaikan dengan sesuatu yang sia-sia. (Lanjut Hal. 2)


Artikel asli: https://cintasunnah.com/amalan-amalan-di-bulan-ramadlan-3/